Pada Mei dan Juni, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) menjadi ajang yang tidak pernah lewat untuk disorot tiap tahun. Topik ini seolah mendarah daging dalam berita pendidikan di Indonesia. Selalu ada fenomena baru tentang SNMPTN yang menarik dibahas. Dengan cara apa para calon mahasiswa berjuang untuk lulus SNMPTN? Berapa biaya yang dikeluarkan untuk lulus dalam ujian SNMPTN? Ke manakah mereka akan kuliah usai pengumuman SNMPTN? Ke perguruan tinggi negeri (PTN) atau terbuang ke perguruan tinggi swasta (PTS)?
Dalam benak calon mahasiswa, terukir impian untuk meneruskan jenjang pendidikan ke bangku kuliah, yang tentunya dirasakan berbeda oleh tiap peserta. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa suka cita karena diterima di PTN, namun ada yang mengurut dada karena gagal dalam proses seleksi, baik SNMPTN undangan, SNMPTN tulis, PMDK, ujian mandiri, dan sederet ujian lainnya. Kegagalan itu menjadikan PTS sebagai alternatif terakhir. Lebih baik menjadi mahasiswa di PTS, ketimbang menunggu SNMPTN tahun berikutnya, atau menjadi pengangguran.
Hal lain yang juga terukir di benak masyarakat adalah, dengan kuliah di PTN bergengsi, maka titian jalan menuju kesuksesan akan semakin mudah. Mendapat kerja makin mudah. Maka, menjadi pekerja dengan gaji besar pun semakin terasa dekat. Terlalu naïf jika kita membenarkan pola pikir ini; memasuki PTN kelak akan menduduki gemilang kesuksesan semudah menjentikkan jari. PTN tidak menjanjikan, hanya saja masyarakatlah yang berasumsi demikian. Perguruan tinggi bersifat relatif. Perguruan tinggi tidak bisa menjadi alat pengukur untuk menentukan keberhasilan seorang mahasiswa. Tak dapat dimungkiri, 11 persen dari pengangguran di seluruh Indonesia dipegang oleh sarjana S-1.
Jadi, apa sebenarnya peran PTN ataupun PTS di Indonesia? Ajang bergengsi ataukah untuk menjalankan fungsi pendidikan seutuhnya?
Menurut UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Apakah PTN atau PTS mempengaruhi seorang peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya? PTN atau PTS bukanlah barang dagangan yang dapat dipilih, melainkan sebuah institutsi untuk membantu seorang peserta didik menempuh proses panjang pembelajaran, dengan menyertakan praktik nyata pada dunia kerja. Perguruan tinggi tidak hanya bermodalkan ilmu pengetahuan yang mumpuni, namun juga kehidupan yang beradab, berakhlak mulia, dilengkapi dengan moral dan etika yang baik.
Sebuah blog menyatakan , “N” dari kata PTN adalah “Nilai”. Sedangkan “S” dari kata PTS berarti “Setoran”. Dapat diambil kesimpulan, bahwa mereka yang memasuki PTN adalah orang pandai, sedangkan PTS ditempati oleh para borjuis. Benarkah demikian?
PTN dan PTS seolah menjadi pembatas kesenjangan antara “pintar” dan “bodoh”. Masyarakat memandang bahwa mereka yang memakai almamater PTN adalah orang–orang pilihan yang pintar, sedangkan mereka yang belajar di PTS adalah orang–orang “buangan”. Tidakkah masyarakat menyadari bahwa mereka yang lulus di PTN seringkali terlibat dalam faktor keberuntungan dan “uang pelicin”? Tidak jarang jika mereka yang pintar, namun kurang mampu dalam menyiapkan “uang pelicin”, hanya gigit jari ketika tidak diterima di PTN yang didambakannya sejak awal. Alternatif yang tersisa hanyalah mengulang SNMPTN tahun depan atau menjadi mahasiswa PTS.
PTN dan PTS juga menjadi pembatas kesenjangan antara “kaya” dan “miskin”. Dalam pandangan masyarakat , PTS identik dengan kata “mahal”. Kalau kita membuka mata lebar–lebar, uang tidak bisa menjadi pembeda signifikan antara PTN dan PTS. Contohnya, biaya pendidikan mahasiswa baru jalur SNMPTN dan ujian tulis di PTN Universitas Diponegoro Semarang jurusan Pendidikan Kedokteran berkisar Rp30 juta, sedangkan biaya studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Pendidikan Kedokteran mencapai Rp38 juta. Perbedaan harganya tidak begitu jauh, bukan?
PTS juga memiliki status sebagai “tempat buangan mereka yang gagal dalam SNMPTN”. Padahal, jika diperhatikan secara seksama, kualitas PTS tidak kalah dengan PTN, baik dari segi fasilitas yang disediakan, tenaga pendidikan, dan kurikulum yang diajar dari tiap program studi yang ditawarkan. Tidak sedikit mahasiswa PTS mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya ke luar negeri. Tidak sedikit pula mahasiswa PTS yang mengikuti program pertukaran pelajar dengan mahasiswa luar negeri atau melakukan studi banding ke luar negeri, layaknya PTN.
Universitas Trisaksti, salah satu dari PTS di Jakarta, membuka kelas Internasional di Fakultas Ekonomi dan menjalin kerjasama dengan universitas luar negeri, layaknya UI selaku PTN di Jakarta. Analogi dari kedua universitas di atas hanyalah perbandingan kecil, jika memandang ribuan universitas lain, baik universitas negeri maupun swasta yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Mengapa ragu untuk masuk PTS? Orang yang benar–benar cerdas bukan hanya orang–orang yang menempuh pendidikan di PTN, tapi orang yang berpotensi, berakhlak, bermoral, beretika, dan beradab, di mana pun dan kapan pun dia menempuh ilmu. Keberhasilan pendidikan seseorang ditentukan oleh tiap individu. Tidak penting dari PTN atau PTS seseorang berasal, tapi lebih ditekankan sejauh mana seseorang mampu menjaga konsistensi dalam mengukir prestasi.
sumber: okezone.com
PTN dan PTS seolah menjadi pembatas kesenjangan antara “pintar” dan “bodoh”. Masyarakat memandang bahwa mereka yang memakai almamater PTN adalah orang–orang pilihan yang pintar, sedangkan mereka yang belajar di PTS adalah orang–orang “buangan”. Tidakkah masyarakat menyadari bahwa mereka yang lulus di PTN seringkali terlibat dalam faktor keberuntungan dan “uang pelicin”? Tidak jarang jika mereka yang pintar, namun kurang mampu dalam menyiapkan “uang pelicin”, hanya gigit jari ketika tidak diterima di PTN yang didambakannya sejak awal. Alternatif yang tersisa hanyalah mengulang SNMPTN tahun depan atau menjadi mahasiswa PTS.
PTN dan PTS juga menjadi pembatas kesenjangan antara “kaya” dan “miskin”. Dalam pandangan masyarakat , PTS identik dengan kata “mahal”. Kalau kita membuka mata lebar–lebar, uang tidak bisa menjadi pembeda signifikan antara PTN dan PTS. Contohnya, biaya pendidikan mahasiswa baru jalur SNMPTN dan ujian tulis di PTN Universitas Diponegoro Semarang jurusan Pendidikan Kedokteran berkisar Rp30 juta, sedangkan biaya studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Pendidikan Kedokteran mencapai Rp38 juta. Perbedaan harganya tidak begitu jauh, bukan?
PTS juga memiliki status sebagai “tempat buangan mereka yang gagal dalam SNMPTN”. Padahal, jika diperhatikan secara seksama, kualitas PTS tidak kalah dengan PTN, baik dari segi fasilitas yang disediakan, tenaga pendidikan, dan kurikulum yang diajar dari tiap program studi yang ditawarkan. Tidak sedikit mahasiswa PTS mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya ke luar negeri. Tidak sedikit pula mahasiswa PTS yang mengikuti program pertukaran pelajar dengan mahasiswa luar negeri atau melakukan studi banding ke luar negeri, layaknya PTN.
Universitas Trisaksti, salah satu dari PTS di Jakarta, membuka kelas Internasional di Fakultas Ekonomi dan menjalin kerjasama dengan universitas luar negeri, layaknya UI selaku PTN di Jakarta. Analogi dari kedua universitas di atas hanyalah perbandingan kecil, jika memandang ribuan universitas lain, baik universitas negeri maupun swasta yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Mengapa ragu untuk masuk PTS? Orang yang benar–benar cerdas bukan hanya orang–orang yang menempuh pendidikan di PTN, tapi orang yang berpotensi, berakhlak, bermoral, beretika, dan beradab, di mana pun dan kapan pun dia menempuh ilmu. Keberhasilan pendidikan seseorang ditentukan oleh tiap individu. Tidak penting dari PTN atau PTS seseorang berasal, tapi lebih ditekankan sejauh mana seseorang mampu menjaga konsistensi dalam mengukir prestasi.
sumber: okezone.com
Tag :
Mahasiswa,
Universitas
0 Komentar untuk "PTN dan PTS Menciptakan Kesenjangan, Benarkah?"