Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini memang tidak meninggalkan catatan yang pasti kapan berdirinya, sumber yang didapat sebagian besar dari Hikayat dan catatan perjalanan para pengembara tempo doeloe. Tentang sejarah singkat Kerajaan Samudera Pasai telah di posting pada postingan mengenai Makam Malikussaleh. Kali ini kita juga akan membahas tentang Kerajaan Samudera Pasai dari sudut Pandang Lain, semoga bermanfaat.
1. Sejarah
Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan
masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki
yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti
Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka
Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara
sejak tahun 1297 Masehi.
Sejumlah ahli
sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda
telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan
salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh Acehini. Beberapa sarjana dan
peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J.
Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan
bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta
menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi &
Agus Budi Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan
dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh,
Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.
a. Asal-Usul
Penamaan Samudera Pasai
Nama lengkap
Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan
Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat
pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan
lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang
dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang
disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah
Pulau Perca.
Sedangkan para
pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”,
yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan
tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari yang
terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata
sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Kesultanan
Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara
Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Catatan
tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan untuk melacak sejarah
Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi Melayu yakni Hikayat
Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai
memberikan andil yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan
Samudera Pasai, meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan
kebenarannya.
Letak
Kesultanan Samudera Pasai
Mengenai nama
“Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba mengurai
asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah seperti yang
dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut bahwa kata “Pasai”
berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum pedagang yang datang dari
Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal “Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa
jadi berlaku, dengan catatan bahwa sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang
datang dari Persia sudah tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi
tempat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59).
Pendapat Moens
mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand,
melalui karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden
Khersonese (1961) yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu
menyandarkan data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang
melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun Paul
Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi,
pelabuhan-pelabuhan besar di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka,
telah ramai dikunjungi oleh kaum musafir dan para saudagar yang berasal dari
Asia Barat. Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota dagang tersebut telah
terdapat fondasi-fondasi atau permukiman-permukiman dari para pedagang Islam
yang singgah dan menetap di situ.
H. Mohammad
Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk
meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang Kesultanan
Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa
asal-muasal penamaan “Pasai” berasal dari para pedagang Cina. Menurut Said,
istilah “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 Masehi,
seperti yang terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana
dari Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai”
(Said, 1963:2004-205).
Ada pula
pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”, yang
artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa
Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang
juga termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai”
adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga
berarti “tidak jauh dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung
arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di tepi laut” (Slamet
Muljana, 2005:136).
Nama Samudera
dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang berhasil ditemukan,
baik sumber yang berasal dari luar maupun sumber-sumber lokal. Sumber-sumber
dari luar nusantara yang kerap menyebut keberadaan wilayah yang bernama
Samudera dan Pasai antara lain adalah laporan atau catatan perjalanan para
musafir asal Cina, Arab, India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah Samudera
Pasai. Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco
Polo, Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina.
Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam
kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai
abad ke-14 Masehi.
Ibnu Batutah,
seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya
mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang
singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai
sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan
indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat
kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang
menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan
upeti.
Catatan pada
Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk
Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang
berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan
hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin
hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali
dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap
sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad
Gade Ismail, 1997:23).
Papan Makam Sultan Pertama Samudera Pasai
Informasi lain
juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke
Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai
memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri.
Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah
menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara.
Pencatat asal
Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires,
menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh
Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai.
Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian
lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau
Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak
kurang dari 20.000 orang (Ismail, 1997:37).
Marco Polo
melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan
nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke
Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi,
ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi
kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian
perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam
rombongan dari Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari
Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo
menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk
agama (Islam), namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama
Saraceen— sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan
penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama
“Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H. Mohammad Said, 1963:82-83).
Selain
sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan
lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan
Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti
makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—bernama
Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh
Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri
Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera
pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau
bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan
belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.
Mata Uang yang Berlaku di Samudera Pasai
Sumber-sumber
tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana Barat yang
dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata berbeda
dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional pada
masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang
diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963, maupun dalam
seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh”, yang digelar
pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka,
Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer,
telah dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai.
Berdasarkan
sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah
lokal yang ditemukan di Aceh yakni “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya
Abu Ishaq Al Makarany dan “Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh”, para pakar
sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah
berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433 Hijriah alias tahun 1042 dalam
penanggalan Masehi (Sufi & Wibowo, 2005:52).
Mengenai
lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usaha-usaha
penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan
oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai
terletak di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut G.P.
Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang sejarah
Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula berada di
sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai.
Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini terhimpun menjadi satu dan kemudian
dijadikan tempat berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera
Pasai (T. Ibrahim Alfian, 1973:21).
b. Samudera,
Pasai, dan Pengaruh Mesir
Terdapat
beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang asal muasal
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah pendapat yang
mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari riwayat
kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis sebelumnya. Dalam buku berjudul
“Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”,
Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti
Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang
terdapat di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai
Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan Dinasti Fathimiah
mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai
perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.
Untuk
memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi
merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan
menyerang daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di
Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di Minangkabau itu,
Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi
Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana, 2005:133). Pada 1168, Dinasti
Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976 Masehi, dikalahkan oleh tentara
Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan runtuhnya Dinasti Fathimiah,
maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis terputus.
Dalam sumber
yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai penguasa
Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204 Masehi
kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau We. Di
bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan peranakan India-Parsi,
Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim yang
paling kuat di Nusantara (Muljana, 2005:114).
Di Mesir,
muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu
adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai
dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai
perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal berdirinya, Dinasti Mamaluk
mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar agama Islam
di tanah suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari
Pantai Barat India.
Di Pasai,
kedua utusan ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota
angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad berhasil
membujuk Marah Silu untuk memeluk agama Islam. Selanjutnya, dengan bantuan
Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka mendirikan Kerajaan Samudera sebagai tandingan
bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera.
Baik Kerajaan Samudera maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai
Pasai dan menghadap ke arah Selat Malaka.
c. Riwayat
Samudera Pasai dalam Hikayat
Versi lain
tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh
dari sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam
Hikayat Raja Pasai. Menurut pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai,
kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih mula-mula bernama Kerajaan
Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang menyusul
kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula pemberian nama
kedua kerajaan ini terdapat cerita yang melatarbelakanginya.
Dalam Hikayat
Raja Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan Samudera bermula ketika Marah
Silu sedang berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai.
Ketika mereka tiba di suatu tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba
menyalak keras karena bertemu dengan seekor semut merah yang berukuran besar.
Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas memakannya.
Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru didirikannya
dengan nama Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya bisa diartikan sebagai
“semut merah yang besar”.
Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai
Sedangkan
mengenai asal mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada suatu hari,
Marah Silu yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al Salih setelah memimpin
Kerajaan Samudera, bersama para pengawalnya sedang melakukan kegiatan perburuan
di mana anjing sultan yang bernama Pasai itu pun ikut serta. Terjadi suatu
kejadian yang aneh ketika Pasai dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan
seekor pelanduk, kedua binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap
dengan akrabnya. Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk
tersebut lari ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam
keheranannya, Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah
negeri di tempat itu.
Setelah negeri
tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai, seperti nama
anjing kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya negeri baru tersebut.
Anjing itu sendiri kemudian mati di negeri baru tersebut. Sebagai wakil Sultan
Malik Al Salih yang tetap bersemayam di Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah
putra Sultan yang bernama Muhammad Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai
(Russel Jones [ed.], 1999:23).
Meskipun cukup
banyak peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai landasan sumber
informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul Kesultanan Samudera Pasai, namun
tidak sedikit pula yang meragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena
hikayat bukanlah suatu rangkaian catatan sejarah murni, melainkan banyak yang
disisipi dengan cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi, malah tidak
jarang kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai
legitimasi pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu.
Keraguan atas
kebenaran yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain seperti
yang dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat Raja
Pasai ternyata hanya sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku
Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap Hikayat Raja Pasai dalam menyebutkan
data sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari sumber-sumber lain.
Bahkan, Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a
chlidren fairy story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu
puncak kefatalan Hikayat Raja Pasai sebagai sumber informasi terhadap sejarah.
Data tersebut menujukkan bahwa selama ini karya-karya tulis tersebut telah
dilihat dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti
Chamamah Soeratno, 2002:36).
d. Perjalanan
Eksistensi Samudera Pasai
Sebelum
memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau Meurah
Silo. “Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan
derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap. Marah
Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau yang sering disebut dengan
Sukee Imuem Peuet, yakni sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah
bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama
kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur yang
mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah
Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur,
Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan
(Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama
Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra
Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat
Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya
adalah Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama
Marah Sum. Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya
dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di wilayah
Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai Peusangan yang
terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang
tahta Kerajaan Samudera.
Batu Nisan Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih
Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih memeluk
Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail dan
Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja
Pasai dengan memberikan catatan bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama
Kerajaan Samudera dan juga agar penduduk di kerajaan tersebut diislamkan oleh
salah seorang sahabat Nabi, dalam hal ini yang dimaksud adalah Syaikh Ismail.
Dengan adanya catatan dari hikayat ini, bukan tidak mungkin ajaran agama Islam
sudah masuk ke wilayah Aceh tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada
sekitar abad pertama tahun Hijriah, atau sekitar abad ke-7 atau ke-8 tahun
Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa
langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59).
Data-data
tentang Islam di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai
adalah tempat pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang
ditulis dalam Hikayat Raja Pasai, Nabi Muhammad (Rasulullah) pulalah yang
membawa Islam ke Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara
Marah Silu dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat
Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah Rasulullah
meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah Silu telah
berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan
proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah Marah Silu tinggal
dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan dengan lancar (Chamamah,
2002:40).
Ketika Malik
Al Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan
dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan
pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini berarti, penobatan dilakukan secara
Arab, bukan dengan cara India. Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar
sudah memeluk agama Islam pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan
Samudera. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta
menjunjung dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat
Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada
raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.
Dalam
rangkaian upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar, sebagai
penasehat Sultan, yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya. Aroma Islam semakin
terasa ketika kedua Orang Besar ini kemudian diberi gelar berkesan Arab,
masing-masing dengan nama Sayid Ali Khiatuddin untuk Tun Sri Kaya dan Sayid
Asmayuddin untuk Tun Sri Baba Kaya (Said, 1963:85).
Sultan Malik
Al Salih menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad
Amin bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari perkawinan ini, Sultan Malik Al
Salih dikaruniai dua orang putra, yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad
dipercaya untuk memimpin Kerajaan Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir
(Sultan Malik Al Tahir), berdampingan dengan ayahandanya yang masih tegap
memimpin Kerajaan Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah,
memilih keluar dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan
mendirikan pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295.
Di bawah pimpinan
Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan. Ibnu
Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan Pasai pada era
pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu Batutah mencatat bahwa
tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan
bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya
mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi
dalam kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan
negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang
dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan
yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang dari
Jawa menukar beras dengan lada.
Makam Sultan Muhammad Malikul Zahir
Ibnu Batutah
mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk
wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah
tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai.
Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi
dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat
mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat
kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan
menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota ini, tulis
Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan.
Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid (Ismail, 1997:37).
Di dalam pagar
yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan
kerajaan yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial
di kota, para pendatang baru dari desa, orang-orang asing, para pengrajin, dan
segala aktivitas urban lainnya ditempatkan di luar pagar di sekeliling pusat
kota. Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu
dari Istana Sultan, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.
Apabila
penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa
Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai,
pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana
Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi sebagai batas yang
membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas
perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.
Masih menurut catatan
Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang
memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah
juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi
tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan
nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia
yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar
biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul
Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang
sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat
ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta
Raja Turkistan yang bijaksana.
Kesan Ibnu
Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam.
Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh,
pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun
ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak
pernah bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang
sangat mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat
ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan
rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu
Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan hati sang
Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Batutah
(Republika, 21 Mei 2008).
Di masa
keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat
perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi
para pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan
Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai berdiri, yakni di kawasan
Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga yang sangat strategis. Pada saat
itu, kawasan Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sering menjadi
lokasi transaksi dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi,
seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).
Di samping
sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat
perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara
yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai
yang berlokasi di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan
sejumlah kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang.
Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah
penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu
komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan
produksi yang cukup besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas
lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Sultan
Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul
Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia
karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan
Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena kedua putra
Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia. Oleh Sultan Malik Al
Salih, kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya
mereka dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul
Mahmud diserahkan kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik
oleh Sayid Semayamuddin.
Ketika kedua
pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin pemerintahan, maka
Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari singgasananya yang meliputi
dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya,
sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi
Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan
Samudera. Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung
lama karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah
Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud yang
tidak lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan Mansur
ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal dunia dalam
perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai singgasana Kerajaan
Samudera dan Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi
Kesultanan Samudera Pasai.
Sejak tahun 1346,
kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul Mahmud
digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah
dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi
gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja
Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga
orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga
putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun
Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama
Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.
Sempat terjadi
hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang
buruk. Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap
kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara.
Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja
menimbulkan kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak
lain adalah putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
Tun Beraim
Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat.
Merasa ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam
dan kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran
yang seharusnya menjadi putra mahkota ini akhirnya tewas setelah memakan racun
yang diberikan utusan sang ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama kemudian,
kedua saudara perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan
racun yang sama.
Keganasan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali
berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan
Majapahit, Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir merasa
terhina karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja
Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja
Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya
untuk menghabisi nyawa Tun Abdul Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat
Tun Abdul Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, oleh sebab rasa cinta
yang tidak tertahankan, Radin Galuh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai bersama
para pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil.
Sesampainya di
Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati Radin
Galuh Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak
kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana
jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya. Sisa rombongan pengawal
yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera kembali ke Jawa dan melapor
kepada Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.
Sang Raja
tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu,
dan kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap
menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada
perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan berhasil menduduki Pasai. Karena
semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat
bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri
Pasai.
Sementara itu,
seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang
Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil
harta rampasan dan tawanan perang dari Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa,
laskar tentara Majapahit terlebih dahulu singgah di Palembang dan Jambi untuk
menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus membawa barang jarahan yang semakin
banyak. Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan
Pasai seperti yang dikisahkan dalam kitab Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.],
1999:57-65).
Dalam silsilah
para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata terdapat sultan
perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah
(Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang
lebih delapan tahun lamanya. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama
Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy
sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama
agar tidak mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya.
Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya
tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang
tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin
Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah
Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini
dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis
nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya
yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah,
putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra
Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan
dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut
Haslinda Hamid Azwar, www.modusaceh-news.com, 2009).
e. Keruntuhan
dan Peninggalan Peradaban Samudera Pasai
Kejayaan
Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di
Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai
mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai patih di
Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu
dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih
ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan
Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut
dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa
sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih
Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran
Kesultanan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan
pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah
Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera
Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut agama
Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di
kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di
bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa
tahapan.
Serangan awal
yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi
itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada
tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di
pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan
pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal
dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).
Selanjutnya,
Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut
dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di
Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan
lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat
tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan
Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat
mencapai istana.
Selain alasan
faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor
kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan
Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai
kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah
dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan
sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh
Majapahit di Selat Malaka.
Hingga
menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya
sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para
ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa
Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional
di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125).
Namun
kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan
di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya
bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu (Ismail, 1997:24). Bandar
Malaka segera menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser
kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang
singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa.
Akibat
kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian
lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan
akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah
kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu.
Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera
Pasai (Rusdi Sufi, 2004:57)
Tidak hanya
itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi
kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju.
Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam,
seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan
Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor
kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh.
Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.
Jejak-jejak
peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil ditemukan, pada
1913 dan 1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J. de Vink, yang
berinisiatif mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan Samudera Pasai.
Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran pada beberapa makam
sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian,
tahun 1972, 1973, serta tahun 1976 peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang
ditemukan di Kecamatan Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh
Darussalam, telah diinventarisasi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Perkembangan
terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang terkait
dengan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009, Tim Peneliti
Sejarah Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah menemukan makam Al
Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan
Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin Ara, Kecamatan Samudera, Kabupaten
Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Al Wazir Al
Afdhal diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa pemerintahan
rezim Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al Abidin atau yang sering
dikenal juga dengan nama Sultan Zainal Abidin, yang memerintah selama dua
periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524. Dari penemuan itu diperoleh
keterangan bahwa Al Wazir Al Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H
atau 1518 M. Di tahun yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan
makam Al Wazir Al Afdal, terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan
bahwa dunia ini fana, tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair
tersebut sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang
mengungkapkan tenggelamnya peradaban Samudera Pasai (www.indowarta.com, 25
Maret 2009).
Pada
kesempatan yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga menyatakan
telah menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan berusia 683 tahun.
Stempel kerajaan yang ditengarai milik Sultan Muhammad Malikul Zahir, sultan
kedua Samudera Pasai, ini ditemukan tidak jauh dari makam Abdullah bin
Muhammad, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Abdullah bin Muhammad (wafat 816 H/1414 M) sendiri adalah salah seorang
keturunan Khalifah Abbasiyah, Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al
Akabir (pemuka para pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu.
Stempel yang
ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1 centimeter,
dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari lokasi ditemukannya
di Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah digunakan sampai dengan masa
pemerintahan pemimpin terakhir Samudera Pasai, Sultan Zainal Abidin
(www.acehlong.com, 17 Maret 2009).
Selanjutnya,
pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI) Lhokseumawe
mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini sebagai tempat
persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima perang pada pemerintahan
Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung
Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H
atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa
pemerintahan beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada
masa Sultan Zainal Abidin.
Selain makam
Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti
memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks
makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu.
Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs
sejarah Dinas Kebudayaan (www.waspadaonline.com, 20 Juni 2009).
Terakhir, pada
Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe
mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin,
wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan
Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Fotografi naskah
tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya
tersimpan di Lisabon, Portugal.
Naskah
tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di
awal abad ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan
Islam pertama di Asia Tenggara ini, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka
pada 1511 Masehi. Naskah surat berbahasa Arab itu juga mencantumkan nama
beberapa negeri atau kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai
sehingga dapat diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan
tersebut, antara lain Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka)
(www.waspadaonline.com, 21 Agustus 2009).
2. Silsilah
Raja-Raja
Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah
memimpin Kesultanan Samudera Pasai:
1. Sultan Malik Al-Salih (1267-1297)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir
3. Sultan Malikul Mahmud
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420-1428)
8. Sultan Sallah Ad-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455-1477)
11. Sultan Zain Al-Abidin (1477-1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501-1513)
13. Sultan Zain Al-Abidin (1513-1524)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir
3. Sultan Malikul Mahmud
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420-1428)
8. Sultan Sallah Ad-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455-1477)
11. Sultan Zain Al-Abidin (1477-1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501-1513)
13. Sultan Zain Al-Abidin (1513-1524)
Silsilah Sultan/Sultanah Kesultanan Samudera Pasai Menurut Hikayat Raja Pasai.
Sultan Malik
Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad
Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul
Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih
untuk sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir,
yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra
Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin,
Sultan Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan
yang dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya,
Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya
tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan
Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu
Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul
Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan
mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran
mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala
tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas
merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan.
Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing
sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya. Selain itu,
ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah
memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan
permasalahan lain karena belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas
mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
3. Wilayah
Kekuasaan
Pada kurun
abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal dan
berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada perang
yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk semakin melebarkan
sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan menduduki wilayah kerajaan
lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam. Wilayah kekuasaan
Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di daerah yang diapit
oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai
Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi
Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba Jreum dan
Seumerlang (Perlak).
Sementara itu,
ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai
meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara
Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan
Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya
berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah
administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan
Samudera Pasai juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh.
Beberapa daerah luar yang menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai
antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga
mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa (Sufi & Wibowo,
2005:61).
4. Sistem
Pemerintahan
Komposisi
masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang
berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan
Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada
lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan kelompok birokrasi
terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara,
pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya
orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang
berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati
jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak
orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam
jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun.
Keadaan ini terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan
berlangsung lama hingga nama kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Samudera
Pasai.
Pada masa
pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan
Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri
Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang
dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan
Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam
sebagai Orang Kaya (Ismail, 1997:39).
Kedua Orang
Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu
masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau
Sultan Malik Al Salih. Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang
Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan
seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di
sana berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan
cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Salah Satu Manuskrip yang Menunjukkan Keberadaan Pasai
Di masa kedua
cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi
sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan
yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud. Mengetahui
perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa
sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan
Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah
membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen
ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar
tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai
pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era
kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
(1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang
perdana menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba
Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota (Jones [ed.], 1999:36).
Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut
menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan
kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera
Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat
diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat
teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama
Islam.
Referensi:
http://awangfaisal.com
Beasiswa Penuh Dan Kontrak Kerja, D4 Pengolahan Pulp Dan Kertas, ITSB 2013/2014
0 Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Samudera Pasai"